Sebenarnya ini adalah ringkasan dari buku Prof. Ng Aik Kwang
dari University of Queensland yang berjudul "Why Asians Are Less
Creative Than Westerners"(Mengapa bangsa Asia kalah kreatif dari
negara-negara barat), tapi berhubung saya tinggal di Indonesia dan lebih
mengenal Indonesia, maka saya mengganti judulnya, karena saya merasa
bahwa bangsa Indonesia memiliki ciri-ciri yang paling mirip seperti yang
tertulis dalam buku itu.
1. Bagi kebanyakan orang Indonesia, ukuran sukses dalam hidup adalah
banyaknya materi yang dimiliki (rumah, mobil, uang dan harta lain).
Passion (rasa cinta terhadap sesuatu) kurang dihargai. Akibatnya, bidang
kreatifitas kalah populer oleh profesi dokter, pengacara, dan
sejenisnya yang dianggap bisa lebih cepat menjadikan seorang untuk
memiliki banyak kekayaan.
2. Bagi orang Indonesia, banyaknya kekayaan yang dimiliki lebih dihargai
daripada cara memperoleh kekayaan tersebut. Tidak heran bila lebih
banyak orang menyukai ceritera, novel, sinetron atau film yang bertema
orang miskin jadi kaya mendadak karena beruntung menemukan harta karun,
atau dijadikan istri oleh pangeran dan sejenis itu. Tidak heran pula
bila perilaku korupsi pun ditolerir/diterima sebagai sesuatu yang wajar.
3. Bagi orang Indonesia, pendidikan identik dengan hafalan berbasis
"kunci jawaban", bukan pada pengertian. Ujian Nasional, tes masuk PT,
dll, semua berbasis hafalan. Sampai tingkat sarjana, mahasiswa
diharuskan hafal rumus-rumus ilmu pasti dan ilmu hitung lainnya, bukan
diarahkan untuk memahami kapan dan bagaimana menggunakan rumus rumus
tersebut.
4. Karena berbasis hafalan, murid-murid di sekolah di Indonesia dijejali
sebanyak mungkin pelajaran. Mereka dididik menjadi "Jack of all trades,
but master of none" (tahu sedikit-sedikit tentang banyak hal tapi tidak
menguasai apapun).
5. Karena berbasis hafalan, banyak pelajar Indonesia bisa jadi juara
dalam Olympiade Fisika dan Matematika. Tapi hampir tidak pernah ada
orang Indonesia yang memenangkan Nobel atau hadiah internasional lainnya
yang berbasis inovasi dan kreativitas.
6. Orang Indonesia takut salah dan takut kalah. Akibatnya, sifat
eksploratif sebagai upaya memenuhi rasa penasaran dan keberanian untuk
mengambil resiko kurang dihargai.
7. Bagi kebanyakan bangsa Indonesia, bertanya artinya bodoh, makanya
rasa penasaran tidak mendapat tempat dalam proses pendidikan di sekolah.
8. Karena takut salah dan takut dianggap bodoh, di sekolah atau dalam
seminar atau workshop, peserta jarang mau bertanya tetapi setelah sesi
berakhir, peserta akan mengerumuni guru/narasumber untuk meminta
penjelasan tambahan.
Dalam bukunya, Prof.Ng Aik Kwang menawarkan beberapa solusi sebagai berikut:
1. Hargai proses. Hargailah orang karena pengabdiannya, bukan karena
kekayaannya. Percuma bangga naik haji atau membangun mesjid atau
pesantren, tapi duitnya dari hasil korupsi
2. Hentikan pendidikan berbasis kunci jawaban. Biarkan murid memahami bidang yang paling disukainya.
3. Jangan jejali murid dengan banyak hafalan, apalagi matematika. Untuk
apa diciptakan kalkulator kalau jawaban untuk X x Y harus dihapalkan?
Biarkan murid memilih sedikit mata pelajaran tapi benar-benar
dikuasainya.
4. Biarkan anak memilih profesi berdasarkan passion (rasa cinta)-nya
pada bidang itu, bukan memaksanya mengambil jurusan atau profesi
tertentu yang lebih cepat menghasilkan uang.
5. Dasar kreativitas adalah rasa penasaran berani ambil resiko. Ayo bertanya!
6. Guru adalah fasilitator, bukan dewa yang harus tahu segalanya. Mari akui dengan bangga kalau kita tidak tahu!
7. Passion manusia adalah anugerah Tuhan. Sebagai orang tua, kita
bertanggungjawab untuk mengarahkan anak kita untuk menemukan passionnya
dan mensupportnya.
Sumber: hermawayne.blogspot.com
Post a Comment
Post a Comment