47 Ronin diadaptasi dari
sebuah legenda asal Jepang yang berkisah mengenai empat puluh tujuh ronin –
sebutan untuk para samurai yang kehilangan tuannya akibat hak atas
wilayah kekuasaan sang tuan dicabut oleh pemerintah – yang selama dua tahun
menyusun rencana untuk membalaskan kematian tuannya. Kisah tersebut sebenarnya
telah memiliki banyak sudut penceritaan yang dapat dikembangkan menjadi sebuah
presentasi film aksi yang menarik. Namun, tentu saja, di tangan Hollywood,
kisah tersebut kemudian diberikan berbagai konflik tambahan dengan menjadikan
seorang aktor Hollywood menjadi bintang utama untuk dapat menjual film tersebut
ke pasaran yang lebih luas. Bukan masalah besar sebenarnya jika saja
elemen-elemen komersial tersebut mampu diimplementasikan dengan baik ke dalam
jalan cerita yang dihadirkan. Sayangnya, hal tersebut tidak terjadi pada film
yang juga menjadi debut penyutradaraan dari Carl Erik Rinsch ini.
Elemen Hollywood dalam
penceritaan film ini dimulai dengan kehadiran karakter Kai, yang digambarkan
sebagai seorang anak yang terlahir dari hubungan seorang pelaut asal Inggris
dengan wanita penghibur asal Jepang. Semenjak kecil, Kai dirawat oleh
sekelompok orang-orang terbuang – yang merupakan jelmaan setan – di tengah
hutan. Karena tidak setuju dengan prinsip hidup orang-orang tersebut, Kai
lantas memilih untuk melarikan diri. Saat melarikan diri itulah, Kai ditemukan
oleh Lord Asano (Min Tanaka) dan kemudian merawatnya. Walau hanya diperlakukan
sebagai pembantu, dengan para samurai seringkali memandang rendah dirinya
akibat garis keturunannya yang tidak murni berasal dari Jepang, Kai tumbuh
dewasa (Keanu Reeves) menjadi sosok yang tangguh. Ia bahkan berhasil menarik
perhatian Mika (Kou Shibasaki) yang merupakan puteri tunggal dari Lord Asano.
Elemen penceritaan Hollywood
lainnya yang hadir dalam 47 Ronin datang dari penceritaan mengenai
Lord Kira (Tadanobu Asano) yang berusaha untuk menjatuhkan Lord Asano sekaligus
merebut wilayah kekuasaannya. Dalam versi film, Lord Kira dikisahkan mendapat
bantuan dari seorang penyihir bernama Mizuki (Rinko Kikuchi) untuk memuluskan
segala rencananya. Rencana tersebut berhasil berjalan dengan baik. Lord Kira
lantas mendapatkan seluruh wilayah kekuasaan Lord Asano, mengusir seluruh
samurai sekaligus memaksa Mika untuk dapat menikahinya. Tidak tinggal diam,
para samurai yang dipimpin oleh Oishi (Hiroyuki Sanada) kemudian bekerjasama
dengan Kai dan para samurai lainnya untuk menyusun rencana dalam membalaskan
perbuatan keji Lord Kira sekaligus menyelamatkan Mika dari pernikahan yang
tidak diinginkannya.
Kelemahan terbesar 47 Ronin sebenarnya
sama sekali bukan berasal dari keputusan Carl Erik Rinsch untuk menggantikan
Bahasa Jepang dengan Bahasa Inggris sebagai bahasa penghantar dialog dalam film
ini. Atau beberapa perubahan pada beberapa karakter maupun garis penceritaan
dalam kisah asli legenda mengenai empat puluh tujuh ronin yang berasal dari Jepang
tersebut. Bahkan tanpa adanya kelemahan-kelemahan tersebut, naskah cerita yang
ditulis oleh Chris Morgan (Fast and Furious 6, 2013)
dan Hossein Amini (Snow White and the
Huntsman, 2012) telah begitu terasa lemah pada banyak bagiannya. Keputusan
untuk mengedepankan karakter Kai yang diperankan oleh Keanu Reeves terbukti
merupakan kesalahan besar ketika Morgan dan Amini sendiri gagal untuk
memberikan kedalaman karakter yang mencukupi pada karakter tersebut. Sebagai
sosok protagonis utama – yang dapat dianggap sebagai sosok pahlawan dalam film
ini – karakter Kai sama sekali tidak pernah benar-benar tampil menunjukkan
karakter heroiknya. Jalinan kisah romansa yang dibentuk antara dirinya dengan
karakter Mika juga tampil datar ketika plot penceritaan tersebut seringkali
hanya menjadi tambalan kisah belaka dan sama sekali tidak pernah tampil
dominan. Ditambah dengan penampilan Reeves yang cukup datar, karakter Kai
menjadi sosok utama yang sama sekali gagal untuk tampil menarik perhatian para
penonton film ini.
Menyaksikan 47 Ronin mungkin
akan membuat banyak orang berharap bahwa film ini dapat lebih berfokus pada
kisah asli legenda asal Jepang yang menjadi sumber ceritanya dengan memberikan
peran yang lebih besar bagi karakter-karakter asli tersebut. Terbukti, plot
penceritaan mengenai empat puluh tujuh ronin yang berusaha untuk membalaskan
dendam tuan mereka mampu tampil lebih hidup dan menarik. Meskipun
karakter-karakter yang berperan dalam plot penceritaan tersebut terkesan begitu
diminimalisir kehadirannya demi memperbesar porsi peran dari karakter Kai,
namun para aktor yang berasal dari Jepang seperti the film Hiroyuki Sanada,
Tadanobu Asano dan Min Tanaka berhasil hadir dengan penampilan yang sangat
mengesankan. Begitu pula dengan Rinko Kikuchi yang terlihat mampu
bersenang-senang dengan karakternya sebagai seorang penyihir. 47 Ronin juga
berhasil hadir dengan kualitas tata produksi yang meyakinkan, khususnya dari
sisi tata kostum, sinematografi dan art direction.
Dengan tujuan untuk memberikan
citarasa internasional, Hollywood kemudian memberikan beberapa perubahan pada
sebuah kisah legendaris yang berasal dari Jepang. Perubahan-perubahan tersebut
dilakukan dengan menambahkan karakter berpenampilan Hollywood, plot bernuansa mistis
serta sebuah jalinan kisah romansa. Sayangnya, perubahan-perubahan itulah yang
kemudian justru membuat 47 Ronin terasa berjalan terlalu datar ketika
kedua penulis naskahnya, Chris Morgan dan Hossein Amini, gagal untuk memberikan
pengembangan kisah yang berimbang daya tariknya dengan kisah legenda asli yang
coba dihadirkan oleh 47 Ronin. Sebagai sebuah debut penyutradaraan, Carl
Erik Rinsch sebenarnya telah memberikan usaha yang terbaik dengan menghadirkan
ritme penceritaan yang tepat sekaligus merangkai penampilan film ini dengan
tata produksi yang kuat. Meskipun begitu, tetap saja, berbagai usaha tersebut
tidak akan berhasil tanpa diiringi dengan struktur cerita yang benar-benar
kuat. 47 Ronin tampak sebagai sebuah mimpi yang ambisius namun tanpa
diiringi dengan usaha yang kuat untuk mewujudkannya.
Post a Comment
Post a Comment