Dalam tempo lima tahun, pendapatan rata-rata warga Desa Tlogoweru, Kecamatan Guntur, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, meningkat. Semula warga yang sebagian besar bekerja sebagai buruh tani itu berpenghasilan Rp 400.000 per bulan, tetapi kini menjadi Rp 600.000 per bulan.
Tenaga kerja muda desa itu yang bekerja di kota-kota besar juga mulai berkurang. Dahulu, setiap tahun rata-rata 150 pemuda desa mencari pekerjaan ke kota. Sekarang, jumlahnya berkurang menjadi 120 pemuda. Tidak hanya itu, petani Desa Tlogoweru juga mampu memanen padi dan jagung secara normal kala serangan hama tikus merebak. Padahal, hasil panen petani di desa-desa sekitarnya turun 40-50 persen.
Hal itu tidak terlepas dari kolaborasi pemerintah desa, swasta, dan masyarakat dalam melaksanakan gerakan menanam rumput gajah dan menangkarkan burung hantu. Gerakan penanaman rumput gajah berlangsung sejak 2006, sedangkan gerakan penangkaran burung hantu sejak awal 2011.
Desa Tlogoweru berjarak sekitar 18 kilometer dari kota Demak. Penduduknya berjumlah 2.320 jiwa, yang tersebar di Dusun Gatak, Weru, dan Sugihwaras. Sebagian besar penduduk adalah petani dan buruh tani dengan total luas lahan garapan 225 hektar.
Desa itu sangat mudah dikenali, tidak dengan tugu atau papan batas desa, tetapi penanda unik. Penanda itu berupa rumput gajah dan pagupon atau rumah burung buatan manusia dari kayu-bambu dan beton cor setinggi 3 meter.
Rumput gajah itu tumbuh hampir di setiap tanggul kalen atau sungai kecil dan tepi saluran irigasi. Adapun pagupon tersebar hampir di setiap sawah dan lahan warga.
Kepala Desa Tlogoweru Soetedjo mengatakan, gerakan menanam rumput gajah dan menangkarkan burung hantu pemakan tikus (Tytus alba) berlatar belakang keprihatinan warga desa. Dahulu, warga desa hanya mengandalkan padi dan jagung untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Mereka berkeinginan beternak sapi dan kambing, tetapi modal tidak ada, selain rumput gajah sulit didapat di desa. Tanggul kalen dan irigasi juga kerap tergerus air setiap musim hujan sehingga membutuhkan tanaman pelindung.
”Dari persoalan itu, kami menanam rumput gajah. Setahun setelahnya, kami membuka diri kepada dua pengusaha swasta asal Semarang dan Jakarta yang memberikan donasi berupa sapi serta kambing,” kata Soetedjo.
Dari segelintir warga yang memelihara kambing dan sapi, dia melanjutkan, kini terdapat 150 keluarga yang mempunyai kambing dan 30 keluarga yang mempunyai sapi.
Masalah berikut yang muncul adalah pemasaran sapi dan kambing. Pemerintah desa berupaya mencari pasar di Jakarta dan berhasil. Sudah dua kali Idul Adha, masyarakat Desa Tlogoweru mengirim 10 kambing dan sapi ke ibu kota Indonesia itu.
Burung hantu
Upaya penangkaran burung hantu pemakan tikus bermula dari penurunan produktivitas padi dan jagung akibat serangan tikus. Tikus menyebabkan petani rata-rata hanya memanen 3 ton padi per hektar dan 6 ton jagung per hektar.
Upaya-upaya lain pemberantasan tikus, seperti gropyokan, racun, dan pengasapan, dinilai kurang efektif serta menghabiskan tenaga.
”Namun, setelah ada burung hantu, panen meningkat. Panen padi menjadi 6-7 ton per hektar dan jagung 8-9 ton per hektar,” ujar Soetedjo.
Penangkaran itu dilakukan di dalam kandang karantina berukuran 6 meter x 12 meter. Di dalam kandang itu, burung hantu dibesarkan mulai dari telur dan diajari berburu tikus.
Pada usia 300 hari, burung hantu dilepas di sejumlah titik di Desa Tlogoweru. Burung hantu yang dilepas itu kemudian menempati pagupon yang tersebar di sawah-sawah dan pohon-pohon.
”Rumah burung itu ada yang terbuat dari perpaduan kayu-bambu dan beton cor dengan ketinggian sekitar 3 meter,” kata Ketua Tim Tyto Alba Desa Tlogoweru Pujo Arto.
Saat ini, Desa Tlogoweru memiliki 60 pagupon kayu dan 5 pagupon beton. Dari 65 pagupon itu, yang sudah dihuni burung hantu sekitar 90 persen. Burung hantu yang telah dilepas ke alam berjumlah 70 ekor. Burung hantu tersebut mampu mengonsumsi 2-3 tikus per malam.
Manto, petani sekaligus penggerak pemuda Desa Tlogoweru, menambahkan, biaya perawatan, terutama pakan, burung hantu selama penangkaran atau hingga umur 300 hari mencapai Rp 1,250 juta. Untuk mengurangi biaya pakan itu, tim Tyto Alba dan kepala desa menggalakkan gerakan memberi makan burung hantu.
”Setiap warga yang menemukan tikus di rumah atau sawah diharapkan menyerahkannya ke penangkaran (burung hantu). Hal itu bisa menghemat biaya perawatan hingga 90 persen,” tutur Manto.
Untuk memperkuat penanaman rumput gajah sebagai pakan ternak dan penangkaran burung hantu, pemerintah desa membuat peraturan desa (perdes). Perdes itu mengatur pemahaman, upaya, kewajiban, dan sanksi yang menyangkut rumput gajah serta burung hantu.
Salah satunya adalah Perdes Nomor 4 Tahun 2011 tentang Burung Predator Tikus Tytus Alba. Perdes yang merujuk pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya itu bertujuan melindungi burung hantu.
Perdes tersebut melarang warga desa berburu, menangkap, memperjualbelikan, mengganggu, dan membunuh burung hantu. Warga desa setempat atau desa lain yang kedapatan membunuh burung hantu di kawasan Desa Tlogoweru akan didenda Rp 1,250 juta.
Selain itu, peraturan tersebut juga mewajibkan petani yang sawahnya ketempatan pagupon untuk melindungi dan menjaga burung hantu.
Menurut Soetedjo, ke depan, pengembangan desa akan mengarah pada desa wisata alam dan edukasi. Unggulan utama wisata itu adalah penangkaran burung hantu.
”Kami selalu mengembangkan filosofi hidup ngilmu lan makaryo, ojo podho nongkrong lan nekem tangan. Artinya, carilah ilmu dan berkaryalah, jangan hanya duduk-duduk dan berpangku tangan,” katanya.
sumber : http://tlogoweru.com/
Post a Comment
Post a Comment