Disutradarai oleh Kirk DeMicco (Space
Chimps, 2008) dan Chris Sanders (How to Train Your Dragon,
2010) dengan naskah cerita yang juga mereka tulis sendiri, The Croods akan
membawa para penontonnya ke masa prasejarah dan berpetualang bersama keluarga
Croods yang berisi sang ayah, Grug (Nicolas Cage), sang ibu, Ugga (Catherine
Keener), puteri tertua mereka, Eep (Emma Stone), putera mereka, Thunk (Clark
Duke), bayi perempuan, Sandy (Rhandy Thom), serta sang nenek, Gran (Cloris
Leachman). Dikisahkan, keluarga Croods adalah salah satu dari sedikit keluarga
di masa tersebut yang mampu bertahan terhadap kondisi lingkungan yang
terus-menerus berevolusi. Kesuksesan itu sendiri dapat terwujud karena aturan
keras Grug yang ia terapkan pada setiap anggota keluarganya: harus selalu
memiliki rasa takut, jangan pernah keluar dari gua tampat mereka hidup
khususnya di malam hari serta jangan pernah memiliki rasa ingin tahu terhadap
hal-hal baru yang mereka temui.
Tentu saja, walaupun dimaksudkan
untuk sebuah tujuan yang baik, berbagai peraturan yang diterapkan Grug tersebut
telah membuat keluarganya hidup dalam ruang gerak yang terbatas. Hal ini lama
kelamaan membuat gerah Eep – yang berbeda dari keluarga dan kebanyakan manusia
prasejarah lainnya, memiliki rasa ingin tahu yang luar biasa terhadap banyak
hal yang ia temui di lingkungannya. Suatu hari, Eep bertemu dengan Guy (Ryan
Reynolds), seorang pemuda yang kemudian mengungkapkan bahwa dunia sedang
mengalami banyak goncangan dan menuju masa kiamat. Panik, Eep lantas
memberitahukan hal tersebut pada ayahnya – yang jelas-jelas kemudian
berpendapat bahwa hal tersebut hanyalah bualan saja. Namun, ketika serangkaian
getaran hebat menghancurkan lingkungan serta gua tempat mereka tinggai, Grugg,
Eep dan seluruh keluarga mereka terpaksa harus turut serta dalam petualangan
hidup untuk dapat mempertahankan posisi mereka di muka Bumi.
Meskipun menawarkan premis
mengenai kehidupan di masa prasejarah yang jelas merupakan sebuah konsep yang
cukup berani untuk disajikan – walau beberapa orang akan menunjuk serial
animasi televisi The Flinstones (1960 – 1966) dan film The Land
Before Time (1988) telah melakukannya terlebih dahulu, jalan cerita The
Croods sebenarnya dibangun atas komposisi yang harus diakui cukup usang.
Lihat bagaimana Kirk DeMicco dan Chris Sanders menggambarkan
karakter-karakternya di jalan cerita filmnya: seorang ayah yang memiliki jalan
pemikiran tradisional, seorang ibu baik hati namun kurang memiliki andil besar
dalam keluarganya, puteri yang beranjak dewasa dan berusaha untuk mendapatkan
semua keinginannya, anak laki-laki yang memiliki kecerdasan di bawah standar, bayi
yang… well… bertingkah seperti seorang bayi (di masa prasejarah, mungkin)
serta seorang ibu mertua yang selalu memusuhi suami anaknya. Dan oh… seorang
karakter baru yang menguji ketahanan serta persatuan sebuah keluarga yang ia
temui (dan akhirnya justru menjadi bagian baru dari keluarga tersebut).
Sayangnya, adalah penggalian
karakter yang dilakukan DeMicco dan Sanders yang membuat karakter-karakter
tradisional tersebut tampak melelahkan untuk diikuti ceritanya. Selain karakter
Grug, Eep dan (mungkin) Guy, deretan karakter lain hampir sama sekali tidak
mendapatkan porsi penceritaan yang tepat dan hanya dihadirkan untuk memberikan
dialog-dialog bijaksana atau menjadi sumber guyonan yang dikreasikan DeMicco
dan Sanders. Berbicara mengenai guyonan, DeMicco dan Sanders sendiri
menghadirkan cukup banyak guyonan di sepanjang 98 menit presentasi penceritaan
film ini – meskipun, harus diakui, hanya beberapa dari guyonan tersebut yang
mampu benar-benar bekerja dan akan menghibur penontonnya
.
Jalan cerita yang dihadirkan The
Croods sendiri juga tidaklah menawarkan sebuah susunan cerita yang baru
maupun revolusioner jika dibandingkan dengan beberapa film animasi yang telah
dirilis sebelumnya. The Croods pada dasarnya adalah sebuah kisah
perjalanan satu keluarga dimana dalam perjalanan tersebut mereka akan
menghadapi berbagai tantangan yang akan menguji daya tahan mereka sebagai
manusia terhadap lingkungannya yang sedang berubah dan, yang paling penting,
kekuatan mereka sebagai sebuah kesatuan keluarga. Walt Disney atau Pixar
mungkin akan mampu menemukan celah sentimental pada premis tersebut untuk
dihadirkan pada penontonnya namun DeMicco dan Sanders seperti terkesan
menyampingkan berbagai hal yang berhubungan dengan sisi emosional dan hanya
murni tampil bercerita di sepanjang presentasi film ini.
Bukan bermaksud untuk
mengatakan The Croods adalah sebuah presentasi yang gagal. Setidaknya
DeMicco dan Sanders memiliki jajaran pengisi suara yang sangat solid untuk
mampu menghidupkan setiap karakter yang berada di dalam jalan cerita film ini.
Emma Stone mampu mengalirkan kepribadiannya yang begitu mudah untuk disukai
melalui karakter Eep yang selalu memiliki rasa ingin tahu. Ryan Reynolds juga
berhasil menghidupkan karakter Guy menjadi sosok yang begitu mudah untuk disukai
– walau DeMicco dan Sanders sama sekali tidak pernah menjelaskan latar belakang
kehadiran karakternya. Namun tetap saja, adalah Nicolas Cage yang menjadi
perhatian utama dari film ini. Kharisma Cage yang begitu kuat mampu membuat
karakter Grug tampil berpengaruh di setiap adegan.
DeMicco dan Sanders juga mampu
mewujudkan berbagai fantasi mereka tentang kehidupan di masa prasejarah lewat
tatanan visual yang begitu mengagumkan. DeMicco dan Sanders harus diakui mampu
menghadirkan konsep yang begitu unik mengenai kehidupan di masa prasejarah.
Fantasi mereka tentang berbagai flora dan fauna yang hidup di masa tersebut
benar-benar mampu mencuri perhatian dan berkat tata visual yang begitu
spektakuler – lengkap dengan sentuhan 3D yang bekerja dengan baik dan akan mengingatkan
banyak penontonnya mengenai keindahan Avatar(2009), The Croods mampu
tampil sebagai film animasi yang memiliki kualitas tata produksi yang
mengesankan.
Hadir dengan tata produksi yang
begitu mengesankan secara keseluruhan serta dukungan jajaran pengisi suara yang
mampu menghidupkan setiap karakter yang ada di dalam jalan cerita film ini dan
membuat mereka menjadi lebih menarik, The Croods seringkali terlihat
berjuang untuk menjadi lebih dari sekedar road movie standar yang
menghadirkan tantangan bagi karakter-karakternya sebelum akhirnya mereka tiba
di tujian akhirnya. Kirk DeMicco dan Chris Sanders sayangnya begitu terfokus
untuk menghadirkan tatanan visual dengan sentuhan 3D yang kuat sehingga
terkesan kurang mampu menghadirkan banyak sisi emosional cerita yang seharusnya
menjadi sajian utama bagi film-film keluarga dengan nada penceritaan sejenis.
Bukan sebuah presentasi yang buruk dan masih sangat mampu menghibur. Hanya saja
jauh dari kesan istimewa jika dibandingkan dengan banyak film animasi modern
lainnya.
Post a Comment
Post a Comment